Mereka dikontenkan dengan perspektif Jawa-sentris, bukan dengan suara mereka sendiri. Ketimpangan digital hadir paling mencemaskan di provinsi Papua dan Papua Barat. Katadata (2023) menemukan bahwa hanya 26,3% masyarakat Papua memiliki akses ke Internet dan hanya 16,7% yang mendapat akses ke jaringan 4G. Pun, Kominfo (2018) mengakui bahwa kecepatan internet di Papua yang sebesar 300 kbps jauh di bawah DKI Jakarta yang menikmati kecepatan 10 mbps.
Namun, kesenjangan digital Papua pun tak hanya terkait infrastruktur, melainkan juga melingkupi wacana di ruang-ruang daring. Sama seperti media massa, ruang-ruang digital juga merepresentasikan orang-orang Papua dengan lensa Jawa-sentris: seolah-olah mereka selalu miskin, terbelakang, dan tak beradab. Mendominasinya perspektif dari Jawa mengakibatkan ketimpangan representasi bagi orang Papua maupun kesempatan bagi mereka untuk bersuara sendiri.
Misalnya, Bobon Santoso, seorang chef dan content creator membuat video berbagi makanan dengan orang Papua yang ditayangkan 46,6 juta kali. Video Wike Afrilia yang mengontenkan barter makanan dengan orang lokal Papua ditayangkan 68,8 juta kali. Meskipun nampaknya menyenangkan, creator-creator tersebut memainkan sentimen poverty porn: eksploitasi kemiskinan untuk menggalang simpati demi menaikkan jumlah penonton.
Reproduksi Representasi Kemiskinan
Poverty porn merupakan praktek yang sangat lumrah di Indonesia. Dulu, acara-acara televisi seperti ini sangat populer, misalnya “Mikrofon Pelunas Utang” di Indosiar dan “Orang Pinggiran” di TRANS7. Jensen (2014) mengungkapkan bahwa ciri khas poverty porn adalah representasi dan dinamika antara dua aktor: skiver, orang yang kurang mampu, dan striver, pemilik harta yang membantu skiver. Hasilnya, acara-acara poverty porn menormalisasi ketimpangan dalam benak masyarakat luas. Dengan itu, orang-orang cenderung tidak mempertanyakan kemiskinan lebih lanjut dan akan terus menontonnya.
Poverty porn dari media Indonesia lampau malah direproduksi dalam konten-konten media sosial. Bahkan, ketika mengangkat orang-orang Papua, konten-konten tersebut juga berbalut rasisme. Kaskure dan Krivorotko (2014) menjelaskan bahwa poverty porn dapat semakin ampuh ketika mengangkat unsur-unsur rasial karena menunjukkan siapa yang “maju” dan siapa yang “terbelakang”. Walhasil, penonton merasakan syok dan iba yang lebih besar dibandingkan poverty porn yang tidak memainkan sentimen rasial.
Wike Afrilia dengan seorang ibu-ibu pemikul kayu
Misalnya, video Wike Afrilia memberikan sembako ke seorang ibu tua pemikul kayu. Premis dari videonya mirip dengan program-program poverty porn di media massa, yakni menonjolkan kisah-kisah memilukan serta pemberian hadiah/bantuan di akhir. Bedanya, faktor syok video ini tidak hanya dibangun di atas aspek kemiskinan, namun juga di atas aspek rasial juga karena subjek video merupakan orang Papua.
Komentar-komentar pada video Wike Afrilia
Dalam komentar-komentar pada video yang sama, terlihat bahwa video tersebut memicu anggapan-anggapan rasis penontonnya. Di salah satu komentar, seorang penonton mengungkit stigma kekotoran orang Papua. Di komentar lain, seorang penonton menggeneralisasi kemiskinan orang-orang Papua. Terlebih lagi, dalam semua komentar itu penonton-penonton tidak mengutamakan sudut pandang orang-orang Papua. Ini terlihat ketika kisah-kisah yang memilukan diolah menjadi refleksi pribadi dan bahan untuk bersyukur. Akibatnya, anggapan-anggapan yang rasis dan egois dapat meluas.
Konten-konten poverty porn selalu memiliki engagement yang tinggi. Konten-konten ini memberikan hiburan dan kesenangan alih-alih ketidaknyamanan karena menyajikan kemiskinan dan ketimpangan. Deery (2017) menyebutkan ini terjadi karena ada pengubahan reaksi emosional atau affective displacement. Ia menjelaskan bahwa penonton dibuat bersimpati karena ketimpangan kekayaan diperhalus: tokoh-tokoh yang kaya diromantisir agar kedermawanannya kepada orang miskin terkesan sebagai suatu kebaikan. Lantas, penonton diajak untuk memosisikan diri sebagai orang yang lebih kaya atau “beruntung” agar dapat lebih mensyukuri kehidupannya dan berangan-angan membantu orang lain. Walhasil, poverty porn terhadap orang Papua adalah alat bagi penonton luar Papua yang merasa butuh dihibur dan bersyukur.
Model Minority
Di sisi lain, konten-konten poverty porn juga membuahkan ekspektasi tertentu terhadap orang-orang Papua. Dalam banyak konten serupa, orang-orang Papua selalu dibuat “bersyukur” atas pemberian atau bantuan orang lain. Nyatanya, ini dikarenakan format poverty porn mengkotakkan orang-orang Papua sebagai kelompok miskin yang selalu perlu dibantu. Oleh karena itu, orang Papua terjebak dengan ekspektasi model minority agar dapat dipandang baik oleh masyarakat lain.
Menurut Dennis (2017), model minority adalah kelompok etnis minoritas yang dipuji-puji karena mengikuti standar kelompok etnis yang dominan. Awalnya, istilah ini digunakan untuk imigran-imigran asal Jepang di Amerika yang berhasil mencapai kedudukan sosio-ekonomi yang tinggi meskipun menghadapi rasisme yang kencang. Mitos ini juga digunakan untuk menggampangkan rasisme yang dialami imigran Jepang.
Mitos model minority juga dapat dilihat dalam poverty porn terhadap orang-orang Papua. Representasi mereka dalam poverty porn mengedepankan ekspektasi bahwa orang Papua yang baik adalah mereka yang tidak terbelakang, berpendidikan tinggi, sukses. Kisah-kisah “inspiratif” seperti putra-putri Papua kuliah di luar negeri dan anak pedalaman Papua yang masuk TNI adalah konsekuensi dari poverty porn dan mitos model minority. Kisah-kisah tersebut mengambil stigma orang-orang Papua yang terbelakang untuk meluncurkan cerita-cerita sukses segelintir orang. Sukses mereka pun didasarkan pada standar-standar pendidikan dan karier yang ditetapkan oleh orang-orang dari luar Papua.
Poverty porn dan mitos model minority dapat merambah karena kreator-kreator yang menyebarkannya memiliki jangkauan yang sangat luas. Misalnya, kreator-kreator yang disebutkan di awal, Bobon Santoso dengan 5,2 juta pengikut dan Wike Afrilia dengan 2,3 juta pengikut. Jangkauan mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan kreator-kreator asal Papua. Misalnya, Asso Myron, seorang pembuat film asal Jayapura yang hanya memiliki 68,9 ribu pengikut. Ia merupakan salah sedikit kreator yang mengangkat orang-orang Papua dengan sudut pandang Papua juga. Akan tetapi, jangkauannya tidak luas dan kebanyakan masyarakat mengonsumsi konten orang-orang Papua yang didasarkan pada poverty porn.
Saat ini, hanya tersedia sedikit ruang di media sosial bagi kreator-kreator asal Papua untuk membangun identitas yang baik serta dengan perspektif mereka. Ketimpangan ruang-ruang digital di Indonesia tidak bisa hanya dibatasi pada aksesibilitas dan infrastruktur. Khalayak perlu memiliki perspektif yang baik tentang Papua dan secara proaktif memberikan perhatian kepada kreator-kreator asal Papua, menjadi pengeras suara alternatif bagi mereka untuk merepresentasikan diri sesuai kehendak sendiri.
Oleh: Fadel Arrumy.
Di Laman remotivi.com