Benang Kusut Pengelolaan Media Sosial Lembaga Pendidikan di Madura

Benang Kusut Pengelolaan Media Sosial Lembaga Pendidikan di Madura

Media sosial merupakan salah satu bagian kehidupan kita hari ini. Friendster sebagai platform jejaring pertemanan online memulai catatan sejarah ini di tahun 2002 dan Facebook di tahun 2004. Meskipun di Indonesia, media sosial baru viral kira-kira tahun 2010an, namun tren penggunaannya terus meningkat secara signifikan. Riset dari DataReportal menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial Indonesia mencapai 191,4 juta (sekitar 62% dari jumlah penduduk Indonesia) pada Januari 2022. Angka ini meningkat 21 juta dari tahun 2021. Kita adalah salah satu pengguna media sosial terbesar di seluruh dunia.

Tak hanya sebagai media pertemanan online, massifnya penggunaan media sosial juga dimanfaatkan oleh instansi kepemerintahan dan lembaga pendidikan. Eksekutif, legislatif, yudikatif, kementerian, organisasi baik di level pusat sampai kampung. Tak lepas pula universitas, sekolah, madrasah juga pondok pesantren, semuanya mengelola media sosial sebagai representasi dari mereka masing-masing.

Budaya baru dunia sosial-digital ini memang tak bisa dihindarkan, kita, mau tak mau ‘harus kesana’ karena hampir semua orang ‘ada disana’. Namun tidak hanya sekadar mengelola saja mestinya. Kita harus memanfaatkan teknologi informasi sesuai dengan ilmu dan kebutuhan, sehingga tercapai lingkungan media sosial yang sehat, bukan (maaf) “nyepam” (menyumbang sampah informasi tidak penting di media sosial) saja.

Sumber Gambar: Pexels

Sebagai praktisi komunikasi, kami menemukan pola atau faktor media sosial kita cenderung kusut (tidak tertata dengan baik).

  1. Kurangnya SDM ilmu komunikasi

Segala sesuatu memiliki ketentuan, hukum, dan ilmunya. Ketika lembaga pendidikan memutuskan untuk mengelola media sosial, maka pemilihan admin atau tim media harus berdasarkan kompetensi di bidang media (ilmu komunikasi). Sikap ‘yang penting ada adminnya’ tidak membantu tercapainya visi lembaga pendidikan tersebut, bahkan justru mengganggu lingkungan sosial-digital dengan postingan yang tidak tepat sasaran, tidak berkualitas atau sia-sia karena tidak tepatnya konten yang dilemparkan ke muka media sosial.

  • Kurangnya perhatian pemerintah

Pemerintah juga punya peran besar dalam peningkatan SDM ilmu komunikasi. Tidak hanya menciptakan UU ITE dalam mengawasi gerak gerik pengguna media massa. Namun bisa juga menambahkan mata pelajaran ilmu komunikasi di sekolah-sekolah, seminar-seminar, workshop-workshop dan kegiatan semacamnya dengan lebih banyak lagi.

  • Sifat “kagetan” kita

Harus diakui pula, kita punya satu sifat “kagetan”. Suatu sikap megikuti sesuatu yang viral (dilakukan banyak orang) meskipun tidak begitu paham esensinya. Entah misalnya membuat akun-akun semua media sosial atau membagikan suatu informasi yang kurang terpercaya sumbernya.

Perhatikan saja saat panas-panasnya pandemi kemarin (2020-2021), saat banyak sekali tokoh yang wafat. Scrolling medsos isinya ucapan bela sungkawa semua. Bukan tidak boleh lho ya, bahkan itu baik untuk menunjukkan rasa empati dan mempererat hubungan emosional antara lembaga pendidikan dan personal, namun perlu juga meningkatkan kualitas dan kuantitas postingan lain yang berhubungan dengan visi lembaga pendidikan. Baik dari desain, konsistensi, copywriting dan konten secara umum.

Membangun pendidikan di Madura melalui media sosial, kenapa tidak, jika kita mau sadar, sabar dan ikhtiar besama-sama, kita bisa.

Penulis

Nama               : Moh. Samsul Arifin

1 Comment

  1. Hi, this is a comment.
    To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
    Commenter avatars come from Gravatar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *