Oleh: Muhamad Heychael
Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran menuai banyak kritik dari publik dan kalangan pers. Fokus utamanya pada pasal soal larangan penayangan ekslusif jurnalisme investigasi. Namun, RUU ini juga memuat masalah lain yang cukup mengkhawatirkan, yakni menggemuknya Kewenangan KPI. KPI dalam RUU Penyiaran memiliki kewenangan dari tiga Lembaga negara sekaligus, yakni Dewan Pers, LSF, dan KPI hari ini. Jika RUU ini disahkan maka KPI adalah Lembaga Superbody.
Tendensi sentralisasi kekuasaan di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa kita ketahui dari tiga kewenangan baru yang diberikan RUU ini pada KPI: Meregulasi medium digital, menyelesaikan sengketa jurnalistik, dan melakukan verifikasi konten penyiaran konvensional maupun digital sebelum ia tayang.
Perubahan paling besar dari RUU penyiaran dari yang sekarang berlaku adalah perluasan cakupannya hingga meliputi ranah digital. RUU ini hendak meregulasi OTT (Over The Top) seperti Netflix dan HBO, konten kreator di media sosial, hingga media online dengan pendekatan penyiaran konvensional. Fungsi KPI dalam RUU ini adalah untuk menjamin agar konten-konten digital mencerminkan “perilaku hidup baik”. Dengan tujuan itu, RUU penyiaran memberikan tugas bertumpuk pada KPI mulai dari mengawasi Iklan-iklan produk dewasa seperti alkohol, rokok, hingga konten bermuatan pornografi dan kekerasan.
Tidak berhenti di sana. KPI pun masuk ke aspek jurnalistik, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah ekslusif dari Dewan Pers. RUU Penyiaran pasal 42 ayat 2 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik menjadi tanggungjawab KPI. Ini artinya segala keberatan atas pemberitaan yang selama ini diarahkan pada Dewan Pers akan diambil alih oleh KPI. Dengan diperluasnya kewenangan KPI ke ranah digital, praktis Dewan Pers hanya berwenang menyelesaikan sengketa pers di ranah media cetak.
Perluasan kewenengan KPI tidak hanya terjadi secara horizontal, dari penyiaran konvensional ke ranah digital, dari konten non jurnalisitik pada produk jurnalistik, melainkan juga secara vertikal. Jika selama ini KPI hanya berwenang mengawasi konten yang telah tayang, dalam RUU KPI juga bertugas melakukan verifikasi dan memberi tanda layak tayang pada konten digital sebelum ia boleh tayang. Seperti halnya Lembaga Sensor Film (LSF) dalam industri film, KPI dalam konteks Penyiaran juga akan memiliki kewenangan melakukan sensor.
Perumusan kewenangan KPI dalam RUU ini setidaknya menyimpan 3 masalah. Pertama, rumusannya tidak memperhitungkan kapasitas KPI. Kedua, ia mengandung sesat pikir mengenai medium digital dan kemerdekaan pers. Terakhir, ia gagal memahami prinsip check and balance dalam sistem tata negara kita.
Anda bisa membayangkan dalam satu hari ada berapa konten yang diproduksi OTT, konten kreator, televisi dan radio? Semua konten tersebut harus melalui verifikasi oleh KPI. Hal ini masih ditambah dengan pekerjaan KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik yang terjadi, melakukan monitoring konten setelah ia tayang, dan memberikan sanksi bila menemukan pelanggaran. Apakah KPI punya kapasitas untuk menjalankan mandat ini?
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Christina Aryani, dalam sebuah acara yang digelar oleh KPI pusat Desember tahun lalu mengatakan “tidak semua TV dan radio yang jumlahnya sangat banyak tersebut dapat terpantau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)”. Mengetahui fakta ini, bagaimana mungkin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi tugas lebih berat pada KPI? Rasanya sulit membayangkan KPI mampu mengemban mandat mengurusi penyiaran digital, kala ia masih kewalahan menghadapi penyiaran konvensional.
Lepas urusan kapasitas, memberi mandat KPI untuk meregulasi ruang digital selayaknya media penyiaran adalah salah semenjak dalam pikiran. UU Penyiaran dirancangan dengan dua fundamental asumsi. Pertama, penyiaran menggunakan ranah publik (frekuensi radio atau gelombang elektromagnetik yang ada di udara). Frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas dan karenanya tidak semua orang punya kesempatan untuk memiliki media penyiaran. Kedua, penyiaran merupakan medium komunikasi massa yang sifatnya serentak. Model keserentakan dalam penyiaran berimplikasi pada kecilnya agensi publik untuk memilih tayangan yang dikonsumsi.
Kedua asumsi tersebutlah yang melegitimasi negara untuk mengatur penyiaran secara rigid. Tujuannya untuk menjamin sumberdaya yang terbatas bisa memberi manfaat yang luas. Sementara dalam ranah digital, dua asumsi ini tidak berlaku atau tidak sepenuhnya berlaku. Internet memungkinkan publik punya agensi lebih besar dengan memungkinkan setiap orang menjadi produsen sekaligus konsumen, tidak ada asumsi kelangkaan di sini. Karenanya logika pembatasan konten internet dalam negara demokratis hanya berlaku pada konten berbahaya seperti ujaran kebencian, pencemaran nama baik, perjudian, yang umumnya masuk kategori tindak kriminalitas.
Dalam logika demokrasi yang sama, menyerahkan urusan pers untuk diatur negara adalah salah kaprah. Sistem pengaturan yang lebih tepat adalah self regulated (industri pers mengatur dirinya sendiri). Inilah semangat dari UU Pers No.40 tahun 1999 yang memberi mandat pada Dewan Pers untuk meregulasi kerja-kerja jurnalistik. Dewan Pers adalah wujud dari hak pers untuk meregulasi dirinya sendiri. Karenanya, Lembaga ini beranggotakan perwakilan dari Jurnalis, Perusahaan pers, dan wakil masyarakat. Rumusan demikian dibuat untuk menjamin agar pers terjaga dari kepentingan politik dan ekonomi yang bisa mengganggu independensinya.
Sulit menapikan kecurigaan publik yang menilai RUU penyiaran bakal berdampak buruk pada kebebasan pers dan hak warga untuk berekspresi. Pasalnya, RUU ini memberi kekuasaan yang begitu besar pada KPI untuk melakukan sensor sekaligus menjatuhkan sanksi pada konten digital pasca ia tayang. Pertanyaannya, jika KPI menemukan pelanggaran dalam konten yang telah tayang, siapa yang salah? Konten kreator atau KPI yang luput dalam melaksanakan verifikasi konten? Seolah-olah KPI dalam rumusan ini adalah Polisi, Jaksa, dan sekaligus hakimnya. Pembagian kewenangan dalam sistem negara demokratis idealnya memperhitungkan prinsip check and balance, yakni usaha untuk saling mengontrol antar lembaga negara, sehingga dapat meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Seandainya saja prinsip ini diperhitungkan, kita tentu tidak akan mendapat rumusan kewenangan KPI yang absolut.
Artikel di atas diosting di laman romotivi
Oleh: Muhamad Heychael